Orangtua yang Bertanggung Jawab

Topik kali ini adalah bagaimana sikap orangtua di dalam mendidik anak. Pada zaman sekarang, Efesus 6:4 (“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu”) ini seringkali dipakai oleh banyak anak sebagai alasan untuk mempersalahkan orangtuanya, seolah-olah orangtua tidak boleh membuat mereka marah. Tetapi mereka melupakan ketiga ayat di atasnya di mana anak-anak dituntut un­tuk taat dan hormat kepada orangtua di dalam Tuhan. Kedua hal ini merupakan ke­seim­bang­an yang penting. Di satu pihak, orangtua mempunyai batasan dalam mendidik anak­­nya, yaitu tidak boleh mendidik sampai membuat anaknya marah, sakit hati dan ta­war hati. Mendidik bukan sembarang mendidik, tetapi mendidik di dalam nasihat dan ajar­an Tuhan. Tapi di lain pihak, seorang anak dituntut untuk taat dan hormat kepada orangtua di dalam Tuhan. Inilah keseimbangan pertama.

Keseimbangan kedua, ayat ini juga seringkali disalahartikan. Di satu pihak, go­longan tertentu memakai ayat ini sebagai patokan, seolah-olah pendidikan tidak perlu menggunakan hukuman fisik. Para orangtua pun tidak boleh memarahi anaknya. Tapi di lain pihak, sebagian orang menggunakan Amsal 13 (“Siapa tidak menggunakan tong­kat, benci kepada anaknya”) sebagai alasan bagi orangtua untuk diperbolehkan me­mukuli dan menganiaya anaknya dengan begitu kejamnya. Dalam hal pendidikan anak, orangtua harus mendidik anak dengan keras. Jikalau memang diperlukan, mereka bo­leh menggunakan tongkat dan rotan namun tanpa membangkitkan amarah anaknya. Dua hal ini bukannya diper­ten­tangkan namun harus dikomplementasikan.

Cara orangtua mendidik anak sangat menentukan perkembangan anak. Jika me­reka gagal mendidik anak dengan tepat, maka anak ini nantinya akan ber­po­­tensi men­jadi anak yang sulit untuk dipegang, dan lebih buruk lagi, dia akan menjadi calon pen­jahat dan perusak masyarakat. Karena itu, pendidikan anak merupakan satu hal yang perlu dipikirkan secara serius dan tidak boleh diabaikan. Kalau anak-anak di­didik dengan baik dan benar, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang bermoral, yang mempunyai cara hidup yang sangat integratif. Alkitab dengan ketat me­ngajarkan konsep ini, ”Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di da­lam hati anak-anakmu.” Kolose mengatakan, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anak­­mu, supaya jangan tawar hatinya.”

Dalam aspek pendidikan anak, Alkitab memberikan penekanan lebih serius ke­pada bapa-bapa. Ada 3 alasan yang mendasari penekanan ini:
Pertama, Alkitab mem­berikan penekanan yang berbeda dengan apa yang du­nia sedang mengerti. Dunia sudah mengerti secara teoritik, fakta dan realita bahwa ibu banyak berperan dalam perkembangan anaknya karena dia mempunyai lebih banyak waktu untuk mendidik anaknya. Dengan kata lain, pendidikan anak merupakan tugas ibu dan bukan tugas bapak. Justru menjadi aneh jika ibu tidak mendidik dan mem­besarkan anaknya dengan baik. Asumsi seperti ini terlalu ekstrim dan perlu di­be­res­kan. Alkitab justru mengatakan bahwa pendidikan anak adalah tugas ayah, “Dan ka­mu, bapa-bapa, janganlah bangkit­kan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didik­lah mereka di dalam ajaran dan na­sihat Tuhan.” Seorang ayah tidak bisa meninggalkan tang­gung jawab pendidikan anak dan menyerahkan seluruh aspek pendidikan kepada ibu karena dia sendiri berperanan se­­bagai wakil Allah dalam keluarga. Alkitab secara kon­sisten dari Perjanjian Lama sam­pai Perjanjian Baru tidak pernah mengabaikan pe­ran­an ayah dalam mendidik anak. Se­men­tara saat ini, kebanyakan para ayah ti­dak mau bertanggung jawab dalam pen­di­dik­an anaknya. Inilah satu sikap yang de­ngan sengaja melawan kebenaran firman Tuhan.

Kedua, anak belajar mengenal Allah melalui figur ayah. Kalau seorang anak mempunyai konsep yang salah tentang ayahnya, maka konsepnya tentang Allah pun salah. Jadi, kalau dia tahu papanya kejam sekali, maka dia akan punya gambaran ten­tang Allah yang kejam. Di saat seperti itu sebetulnya dia gagal mengerti Allah yang se­sung­guhnya. Kecuali jika anak ini bertobat, mengenal Tuhan dan dididik dengan Firman, perlahan-lahan konsepnya akan berubah. Namun proses mengubah konsep yang salah itu sangat sulit karena sudah berakar di kepala. Biarpun secara teori dia bisa me­ngemukakan teori Kristen yang baik tentang Allah yang tepat, tapi di dalam hatinya yang paling dalam dan pikirannya tetap dia mempunyai konsep Allah seperti ayahnya. Maka Alkitab mengajar para ayah untuk mendidik anak dengan baik. Di sinilah ke­in­dahan­nya jika seorang anak boleh dilahirkan di keluarga Kristen di mana orangtua men­di­dik­­nya di dalam iman Kristen. Inilah warisan dan anugerah yang terlalu besar yang ti­dak mungkin dimiliki jika anak itu dilahirkan di dalam keluarga non-Kristen. Namun da­lam ke­nyataannya ada pula anak yang dilahirkan dalam keluarga Kristen tetapi orang­tuanya ti­dak menjalankan tugas untuk memberikan anugerah tersebut kepada anaknya. Seorang anak adalah titip­an Tuhan, tapi tetap menjadi tang­gung jawab orangtua untuk mendidik.

Ketiga,
yang seringkali membuat anak marah dan sakit hati adalah ayah. Ten­tu saja tidak semua ayah berbuat demikian. Tetapi di dalam fakta statistik, yang pa­ling sering menganiaya anak adalah ayah. Karena itulah Alkitab mengatakan, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu.” Itulah ketiga alasan mengapa Alkitab mem­beri penekanan lebih serius pada peranan ayah dalam pendidikan anak.

Alkitab me­ngatakan dalam Amsal 13: “Siapa tidak menggunakan tong­kat, ben­ci kepada anaknya; te­tapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada wak­tu­nya.” Ada beberapa hal yang harus orangtua pikir­kan dalam hal ini:
Pertama, motivasi orang­tua ketika memukul atau menghajar anak. Kunci per­tama yang terpenting di dalam mendidik anak adalah ba­gaimana saya mulai dengan mo­tivasi mengasihi anak. Yang seringkali menjadi kesa­lahan orangtua adalah justru pa­da saat mencintai anak, mereka tidak dapat meng­gu­na­kan tongkat, dan pada saat mem­­benci anak, tongkatlah yang menjadi alat pelampias­an. Dan satu hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah jika sang anak masih dalam usia ingin mengaktifkan mo­to­riknya. Seringkali orangtua ti­dak mendidik anak karena men­cintainya tetapi karena me­­rasa jengkel dan dirugikan oleh anak. Ketika sedang jengkel, orangtua harus me­ne­duh­kan diri dan memikirkan baik-baik apakah ia layak untuk memukul dan sejauh mana ke­salahan anak itu. Dan baru­lah ia memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap anak. Sebab jikalau kita se­dang marah karena jengkel, kita dapat memukul anak tanpa ba­tas dan keadilan. Ini me­rupakan kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan yang di­lam­piaskan kepada orang yang tidak berdaya. Menurut konsep yang tepat, cintalah yang mengharuskan orangtua me­mukul anaknya demi kebaikannya. Seorang pendeta me­ngatakan, “Pukullah anakmu de­ngan air mata.” Ketika memukul anak, biarlah orang­tua memukul dengan menangis karena sebenarnya mereka tidak suka memukulnya. Ketika anak tahu, papanya pukul dia dengan keras te­tapi bukan karena benci melainkan karena mencintainya, anak itu akan tahu bahwa ia di­hukum keras dan mulai belajar keadilan namun ia tidak menjadi marah dan benci.

Kedua, prinsip atau orientasi yang harus dipertimbangkan ketika memukul anak. Pertimbangan pertama adalah bukan pada diri orangtua tetapi pada diri anak yaitu pikirannya, pergumulannya dan pertimbangannya. Dan pertimbangan kedua ada­lah besar-kecil kesalahannya dan hukuman yang pantas. Ketika menghukum, orientasi orangtua haruslah pada anak karena tujuan pendidikan adalah demi anak kembali pada jalur Tuhan dan mengerti nasihat dan ajaran Tuhan.

Ketiga, cara orangtua mendidik anak. Ketika menghukum anak, orangtua ha­rus tahu bagaimana caranya membuat dia mengerti kesalahannya dan bagaimana meng­hukum dia atas kesalahan itu dengan dasar keadilan dan cintakasih. Seorang anak harus dihukum karena kesalahannya, agar tidak mengulangi kesalahan yang sa­ma atau membuat kesalahan yang lebih besar lagi. Ketika melakukan tindakan peng­hukuman, orangtua harus memperhatikan tempat penghukuman. Jangan sampai kita me­mukul anak di bagian kepala karena dapat mengakibatkan radang otak. Demikian juga dengan punggung tangan anak yang dapat putus atau terkilir. Maka bagian terbaik un­tuk memukul adalah di telapak tangan dan di pantat.

Keempat,
hasil didikannya. Efesus 6 mengatakan bahwa didikan orangtua yang benar akan menghasilkan anak-anak yang terdidik di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Mereka akan mengerti tentang firman dan ajaran Tuhan. Karena itu, setelah penghukuman, orangtua harus memperhatikan adakah pertobatan dan perubahan dalam diri anaknya. Pendeta Stephen Tong mengajarkan dalam Arsitek Jiwa, bahwa se­telah menghajar anak, bukannya anak menjadi benci kepada orangtua, tetapi dia men­jadi sungkan namun terus mencari mereka. Inilah paradoksikal pendidikan yang sukses. Untuk mencapainya, orangtua harus mampu menjalankan kasih dan keadilan secara seimbang sesuai dengan figur Allah yang tepat. Tuhan mengasihi tapi juga sekaligus meng­­hukum. Maka saat itu cinta dan keadilan tidak didualismekan tetapi justru digabungkan.

Di tengah dunia ini, sangat sulit bagi orangtua untuk selalu menjaga anaknya karena terlalu banyak pengaruh luar yang mencoba mempengaruhinya. Oleh karena itu, orangtua harus memberikan bekal kebenaran yang secukupnya sehingga dia mem­punyai kekuatan untuk bertahan di dalam segala macam situasi. Amin.

By Pdt. Sutjipto Subeno | Sumber: GRII Andhika

0 komentar:

recent comments


Cari di ezramos.blogspot.com...

recommended links

     » Christian Men's Network Indonesia
     » Wanita Bijak
     » Christian Parent
     » All About Parenting
     » Focus On The Family
     » Children’s Ministry Online
     » Jesus for Children
     » Salvation Kids
     » Kid Explorers
     » CBH (Children's Bible Hours)
» Blog ini didedikasikan untuk kedua anak yang kami kasihi, Ezra dan Amos serta kepada seluruh orangtua Kristen yang memiliki anak-anak agar mereka tetap memegang teguh komitmen dan tanggung jawab atas kehidupan anak-anak yang telah Tuhan percayakan kepada mereka. God bless you!

"Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita." (Ams. 23:15)

meet the parents

Add me Add me

  © 2008 Blogger template by Ourblogtemplates.com

Back to TOP