Showing posts with label suami-isteri. Show all posts
Showing posts with label suami-isteri. Show all posts

Keluarga yang Takut akan Allah

"Walaupun orang yang berdosa dan yang berbuat jahat seratus kali hidup lama, namun aku tahu, bahwa orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya." (Pengkotbah 8:12)

Pengalaman Yusuf tergolong sangat luar biasa. Ia dijual kakak-kakak kandungnya sendiri. Setelah itu Yusuf harus bekerja keras sebagai budak yang tidak dihargai orang di negeri asing yang jauh dari sanak keluarga. Kita sulit membayangkan bagaimana perasaan kesepian dan perasaan tertolak yang dialami Yusuf. Tatkala nasibnya sedikit membaik karena ia memperoleh kepercayaan tuannya, Potifar, ia harus mengalami tekanan karena godaan istri Potifar.

Alkitab mengisahkan bahwa istri Potifar membujuk Yusuf dari hari ke hari untuk tidur bersamanya, tetapi Yusuf tidak jatuh. Penolakan tegas Yusuf terhadap dosa didasarkan pada prinsip yang dinyatakannya secara indah; "Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?" (Kejadian 39:9b)

Sebenarnya banyak sekali alasan yang pantas dikemukakan Yusuf untuk tidur dengan istri Potifar. Bukankah Yusuf adalah budak dan wajib memenuhi semua keinginan tuan dan istri tuannya? Lagi pula bukan Yusuf yang memulainya. Istri Potifarlah yang merayu Yusuf dan hal itu berlangsung lama. Bila saja Yusuf bersedia melakukan apa yang diinginkan istri tuannya itu, kenaikan jenjang karir sudah menanti. Bukankah Allah (tampaknya) tidak melindungi Yusuf sehingga wajar sekali bila Yusuf meniti karir dengan caranya sendiri. Bukankah tidak akan ada seorang pun yang tahu perbuatan mereka? Tetapi Yusuf tidak melakukan dosa karena ia takut akan Allah.

Ayub adalah tokoh lain yang kesalehan dan rasa takut akan Allahnya dipuji, bukan oleh orang lain, melainkan oleh Allah sendiri di hadapan Iblis (Ayub 2:3). Ia mempunyai anak-anak yang rukun dan yang dipimpinnya untuk takut pada Allah. Dalam hidup ibadahnya, ia tidak lupa menyertakan anak-anaknya dengan mendoakan mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.

Apa ganjaran bagi orang yang takut akan Allah? Yusuf harus masuk penjara tanpa diadili dan tanpa mengetahui kapan ia dibebaskan. Ayub harus mengalami musibah beruntun dan kehilangan semua yang dimilikinya, termasuk kesehatannya. Terakhir, bahkan istrinya sendiri memberi Ayub tekanan psikologis yang dahsyat dengan mengatakan; "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!" (Ayub 2:9). Di manakah kebahagiaan yang dikatakan oleh Pengkotbah sebagaimana yang dikutip pada awal tulisan ini?

Bila kita amati keseluruhan kisah Ayub dan Yusuf, kita akan tahu bahwa kebahagiaan itu tidak terletak pada kekayaan atau keberuntungan yang kita peroleh sebagai ‘balas jasa’ Allah atas ketaatan dan kesalehan kita. Ayub dan Yusuf mengalami serangkaian ketidakberuntungan justru karena kesalehan mereka. Kebahagiaan tidak identik pula dengan absennya penderitaan pada diri kita atau dalam keluarga kita. Sebaliknya, kebahagiaan kita alami karena kita hidup dalam kekudusan. Dalam kisah Ayub dan Yusuf, kita memang membaca mengenai limpahan kasih Allah bagi diri mereka berupa kekayaan dan kemuliaan setelah mereka mengalami sejumlah penderitaan. Tetapi banyak kali kekayaan dan kemuliaan yang sesungguhnya baru akan dialami orang percaya setelah kematian tubuh ini, sebagaimana yang terjadi pada para nabi dan para Rasul Yesus Kristus.

Ada kesan bahwa takut akan Allah memberikan beban berat dan mengekang hidup kita. Kesan itu sesungguhnya kurang tepat, karena takut akan Allah dalam pengertian yang benar justru memberi kita suka cita dan kebebasan. Pemazmur menyatakan; "Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya." (Mazmur 19:8). Justru ketika kita melanggar titah Tuhan, kita mengalami rasa takut yang membelenggu, rasa bersalah yang sulit diatasi, dan yang menimbulkan duka cita. Sama seperti Adam dan Hawa yang merasa takut dan malu, sehingga harus menyembunyikan diri dari hadirat Allah.

Takut akan Allah berarti menaati hukum dan perintahNya. Tentu ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar. Namun penderitaan karena taat akan perintah Tuhan hanya bersifat sementara dan sangat tidak berarti bila dibandingkan dengan sukacita kekal yang akan kita nikmati. Yesus berfirman; "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Matius 11:28-30). Kuk dan beban yang berasal dari Tuhan itu enak dan ringan, apalagi dibandingkan dengan penderitaan bila kita harus menanggung beban dosa.

Keluarga yang takut akan Allah adalah keluarga yang mengarahkan seluruh anggotanya untuk menaati perintah Tuhan. Keluarga demikian memiliki persekutuan dengan Allah tiap hari, pemahaman yang benar tentang apa yang disukai dan tidak disukai Allah, dan kehidupan keluarga yang kudus. Keluarga tidak terutama memikirkan bagaimana memperoleh uang lebih banyak, melainkan bagaimana dapat memberi lebih banyak. Prestasi dan ketenaran tidak lagi menjadi topik utama pembicaraan, sebaliknya keluarga yang takut akan Allah lebih banyak memperhatikan dan mengasah sikap, perilaku, dan karakter yang baik.

Orangtua yang takut akan Allah tidak menggunakan nama Allah untuk menakuti anak-anaknya, melainkan memimpin anaknya untuk memahami Allah melalui wahyu Allah dalam Alkitab. Anak perlu mengenal apa yang disukai atau tidak disukai Tuhan. Dengan demikian, anak akan mengetahui bahwa ketaatan kita kepada Allah bukan didasarkan atas rasa takut karena Allah senang menghukum kita bila kita melanggar perintahNya. Sebaliknya, Allah memberikan perintah atas dasar kasih dan agar kita memperoleh damai sejahtera. Ketika kita berdosa, Allah bahkan telah menyediakan jalan pendamaian melalui karya Yesus di kayu salib. Karena itulah, yang terutama dalam hukum Taurat bukanlah menaati huruf-huruf yang tertera pada hukum itu. Hukum yang terutama adalah kasih kepada Allah dan hukum yang kedua yang sama dengan itu adalah kasih kepada sesama manusia (Matius 22:37-40). Demikian pula orangtua perlu memperkenalkan hukum Allah dalam peraturan keluarga bukan dengan tujuan utama agar anak dapat dihukum, melainkan supaya suatu ketika nanti ia dapat mengenal Allah yang adil itu, yang sekaligus juga maha pengasih.

Takut akan Allah menjadikan kita manusia yang bermoral tinggi. Keluarga yang takut akan Allah tidak saja terhindar dari keruntuhan, namun dapat menjadi berkat bagi banyak orang.

By Heman Elia, M.Psi | Sumber: Eunike

Read more...

Moralitas dan Rasa Hormat

Virginia Satir, seorang pakar terapi keluarga, mengemukakan bahwa suami-istri adalah poros keluarga. Dengan kata lain, hubungan suami-istri sangat mewarnai kondisi keluarga secara keseluruhan. Salah satu aspek kehidupan suami-istri yang berdampak langsung pada keluarga ialah kehidupan moral suami dan istri.

Sebagai contoh, keberhasilan orang mendisiplin anak sangat terkait dengan kehidupan moral orangtuanya. Apabila anak menghormati kehidupan moral orangtua, anak juga cenderung mematuhi petuah orangtua. Sebaliknya, wibawa orangtua untuk menerapkan disiplin kepada anak mudah merosot jika anak sudah tidak menghormati kehidupan moral orangtuanya lagi.

Konsep yang sama dapat pula diterapkan pada hubungan suami-istri. Sesungguhnya, respek terhadap pasangan sangat bertalian dengan kehidupan moral pasangan itu sendiri. Respek yang telah tererosi akan meresap masuk dan membawa pengaruh pada banyak aspek kehidupan suami-istri. Sebaliknya, respek yang terpelihara (apalagi bertambah) akan menyederhanakan dan menyelesaikan persoalan dalam pernikahan. Itu sebabnya, bagian moral merupakan elemen yang integral dalam kehidupan suam-istri, namun malangnya, acap kali luput dari perhatian kita.

Kehidupan moral dapat dibagi dalam dua unsur: standar dan perilaku. Standar moral mencakup keyakinan tentang benar-salah dan baik-buruk sedangkan perilaku moral mengacu kepada perbuatan konkretnya sendiri. Kesamaan atau kesesuaian antara standar dan perilaku moral, saya sebut ‘integritas’. Jadi, orang yang mengaku Kristen tetapi kalau marah memukuli istrinya, adalah orang yang tidak memiliki integritas. Hal yang sama bisa ditujukan kepada seorang istri yang mengaku respek terhadap suaminya namun sering melontarkan kata-kata yang menghina. Integritas adalah kekonsistenan antara apa yang diucapkan dan yang dilakukan, antara yang apa yang diyakini dan yang diperbuat.

Hampir semua orang dapat mengemukakan apa yang dipercayainya sebagai kebaikan dan keburukan, tetapi tidak semua bisa hidup sesuai dengan standar moralnya itu. Adakalanya suami menolak "khotbah" istrinya sebab ia tidak melihat integritas pada istrinya. Mungkin suami itu berdalih, "Engkau sendiri melakukan hal yang sama!" Atau, kadang istri sukar menerima keputusan suaminya, sebab ia tahu bahwa keputusan itu, toh, akan dilangggar oleh suaminya sendiri pula.

Hampir semua orang dapat mempunyai integritas—dengan standar moral yang rendah. Maksud saya, bukankah mudah bagi kita untuk meraih standar jika standar itu rendah. Jadi, akan ada orang yang berkata, "Saya tidak suka berpura-pura! Kalau saya main perempuan, saya pasti memberitahukan istri saya. Terserah dia mau terima atau tidak!" Standar dan perilaku moral yang rendah, betapapun menunjukkan integritas, tetap berdampak negatif terhadap pernikahan—tidak akan membuahkan respek pada diri pasangannya.

Bila kita ingin meningkatkan kualitas hubungan nikah, tidak bisa tidak, kita mesti memelihara integritas yang tinggi. Standar moral harus sepadan dengan yang telah Tuhan tetapkan. Firman Tuhan memacu kita untuk memiliki standar yang tinggi, sebagaimana dapat kita tilik di Filipi 4:8, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."

Sejak kecil istri saya sudah hidup di luar negeri sebelum akhirnya menetap di Amerika Serikat. Setelah kami menikah, kami pun menancapkan akar kami di negeri Paman Sam itu. Sewaktu kami kembali ke Indonesia, 9 tahun yang lalu, ia harus meninggalkan keluarga dan kehidupannya di sana—sebuah keputusan yang tidak mudah diambil. Ia melakukannya dengan suatu keyakinan bahwa itulah yang Tuhan tuntut darinya. Dengan setia ia mendampingi saya di sini dan setiap hari saya melihatnya membaca Alkitab dan bersaat teduh dengan Tuhan. Ia jugalah yang memastikan agar anak-anak membaca Alkitab setiap hari dan memantau kehidupan rohani mereka. Apa yang muncul dalam hati saya menyaksikan semua ini? Respek!

Apakah kami tidak lagi berselisih paham setelah melakukan semua ini? Sudah tentu masih—kadang kecil, kadang besar. Namun, respek yang telah menyerapi benak kami bekerja sebagai penawar dan penahan berkembangnya masalah. Respek tidak usah dicari dari luar sebab itu tidak akan ada. Respek bertunas dari kehidupan moral yang "mulia dan patut dipuji."

By Pdt. Paul Gunadi | Sumber: Eunike

Read more...

Menyelesaikan Masalah Tanpa Adu Mulut

Konflik muncul karena keunikan kita. Tujuan dari penyelesaian sebuah konflik bukanlah membuang semua perbedaan-perbedaan kita. Tujuannya adalah untuk belajar bekerja sama sebagai tim, menggunakan perbedaan untuk membuat hidup lebih baik untuk kita berdua.

Tetapi untuk beberapa pasangan, konflik mengarah pada argumentasi dan argumentasi seringkali menjadi lepas kendali. Bukannya cari solusi, justru mereka menciptakan masalah baru. Seorang isteri berkata pada saya, "Saya lakukan saja apapun yang dia inginkan karena saya capai berargumen." Jelas sekali, pendekatan seperti ini tidak akan membawa kepada suatu hubugan yang sebenarnya.

Sisi buruk dari berargumentasi
Apa keburukan dari argumentasi? Ketika Anda memenangi perselisihan, berarti pasangan Anda yang kalah. Dan kita tahu tidak enak tinggal dengan seseorang yang kalah.

Argumen menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Sayangnya, hasil tersebut merusak. Argumen adalah pernyataan yang disusun dengan hati-hati yang dirancang untuk memancing logika lawan. Implikasinya jelas, semua orang yang masuk akal akan setuju dengan argumennya. Pada saat pasangan tidak setuju, dia masuk dalam kategori tidak logis.

Argumen dengan cepat dapat disulut emosi. Anda mungkin akan berakhir dengan berteriak atau menjerit; menyemburkan kata-kata yang dapat membunuh karakter pasangan Anda; mempertanyakan motivasinya; dan menuduh perilakunya sebagai perilaku yang tidak sayang, jahat dan tidak disiplin.

Argumen terutama membawa kepada tiga hasil. Anda menang dan pasangan Anda kalah; Anda kalah dan pasangan Anda menang; atau Anda berargumentasi sampai seri. Sewaktu sebuah argumen berakhir seri, Anda dan pasangan sama-sama kalah. Tidak satupun yang berhasil diyakinkan mengenai posisi orang lain dan keduanya akan kecewa, frustasi, terluka, pahit dan seringkali kehilangan harapan akan pernikahan mereka.

Sisi baik penyelesaian konflik
Kabar baiknya adalah konflik dapat diselesaikan tanpa berargumen. Menemukan penyelesaian yang memenangkan kedua belah pihak dimulai dengan percaya bahwa solusi seperti itu memang memungkinkan dan bahwa Anda dan pasangan anda cukup pintar untuk menemukannya. Anda harus menghormati ide orang lain pada saat anda tidak setuju, dan bereaksi dengan penuh kasih kepada pasangan Anda walaupun kenyataannya Anda sedang konflik dengannya. Tujuannya adalah untuk mencari penyelesaian, bukan untuk memenangkan argumentasi.

Konflik tidak bisa diselesaikan tanpa mendengarkan dengan empati. Sayangnya, kebanyakan pasangan percaya mereka sedang mendengarkan satu sama lain, padahal mereka sedang memikirkan kata-kata apa yang ingin mereka "tembakan". Mendengarkan dengan empati berarti mencoba untuk mengerti apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Menempatkan diri kita di posisi orang lain dan mencoba melihat dunia melalui kacamatanya. Yang artinya kita letakkan senjata verbal kita untuk benar-benar mengerti sudut pandang orang lain. Bukannya berfokus pada bagaimana kita akan meresponi apa yang pasangan kita akan katakan, kita fokus pada sepenuhnya dengan mendengarkan apa yang orang lain katakan. Kita tidak akan bisa bereaksi dengan penuh kasih sampai kita mengerti arti dan perasaan di balik kata-kata.

Mendengarkan dengan empati mungkin butuh Anda menanyakan pertanyaan-pertanyaan untuk memastikan Anda mendengar dengan benar apa yang pasangan Anda katakan. Seorang suami mungkin bertanya, "Apakah kamu mengatakan kamu ingin aku untuk selalu membuang sampah tanpa disuruh?" di mana dia akan merespon, "Ya, pada saat aku harus menyuruh kamu, aku merasa seperti ibu kamu. Dan aku ingin kamu membuangnya setelah makan malam dan tidak membiarkannya sampai pagi jadi dapurnya tidak bau." Sekarang dia memahaminya, dia bisa menegaskan keinginannya dengan mengatakan, "aku mendengarkan apa yang kamu katakan dan itu masuk akal. Aku rasa aku bisa melakukannya. Satu-satunya masalah adalah setiap Rabu malam saat aku harus pergi terburu-buru untuk rapat. Apakah mungkin kamu yang membuangnya pada malam-malam tersebut?" Kemungkinannya adalah dia akan setuju dan " program pembuangan sampah" baru akan membawa keharmonisan pada hubungan mereka.

Pada saat Anda menegaskan perspektif pasangan Anda, maka Anda bisa membagi perspektif Anda dan bersama-sama Anda bisa menegosiasikan sebuah solusi yang menghargai ide dan perasaan Anda.

Kesalahan yang biasa terjadi
Kesalahan yang setiap pasangan biasanya lakukan pada saat mencoba menyelesaikan konflik bereaksi sebelum dia benar-benar mengerti gambaran dari permasalahan sepenuhnya. Hal ini pasti membawa kepada argumentasi. Pada saat kita bereaksi terlalu cepat, mereka seringkali bereaksi pada masalah yang salah. Mendengarkan membantu kita fokus pada jantung dari konflik tersebut. Pada saat kita mendengarkan, mengerti, dan menghormati ide masing-masing, kita bisa mencari solusi di mana kita berdua keluar sebagai pemenangnya. Pada saat suami isteri dengan penuh kasih mencari penyelesaian dari konflik mereka, mereka akan menemukan harmoni dan kerja sama.

By Gary D. Chapman | Sumber: christianitytoday.com

Read more...

Suami Isteri: Perlukah Berdoa Bersama?

Rumah tangga adalah unit terkecil dari sebuah lembaga agama. Suasana akrab dengan sesama tampak dalam lingkup keluarga. Suami isteri saling memahami, anak-anak memahami orangtua mereka, begitu pula sebaliknya. Jadi, dalam doa, mereka mengerti betul apa yang mereka kehendaki bersama. Berbeda dengan kebaktian di gereja. Di gereja, semua orang datang berkumpul dan mendoakan hal yang sama namun tidak selamanya mengerti betul keperluan masing-masing. Tetapi, di dalam keluarga, ayah mendoakan anak-anak mereka, anak-anak mendoakan orangtua mereka, ibu mendoakan kesejahteraan semua keluarga.

Masing-masing individu di dalam keluarga mengerti betul apa yang mereka doakan. Begitu yakin atas permintaan mereka itu, karena suasana akrab ada di dalam mereka, tanpa rasa curiga. Karena saling mempedulikan, mereka berada di dalam persatuan dan kesatuan. Permintaan mereka jelas dan Tuhan yang mereka sembah dan yakini ada dan mendengar doa mereka. Sebagaimana mereka melihat kenyataan bahwa orangtua, bapak dan ibu mereka ada di tengah-tengah mereka, demikian pulalah mereka memastikan bahwa Bapa yang di sorga itu pun mendengar doa mereka dengan kapasitas dan kenyataan yang tidak meragukan.

Kapan Berdoa Bersama?
Pada waktu anak-anak bangun, dapat diadakan ibadah singkat, mendengarkan firman Tuhan sejenak sebelum melakukan kegiatan sehari-hari. Anak-anak dapat berpartisipasi dalam doa, mendoakan keperluan keluarga dan diri mereka, didukung anggota keluarga lainnya.

Pada waktu makan bersama, pemimpin doa dapat bergantian dan semuanya "mengaminkan" bahwa Tuhan yang memberikan makanan mereka sehari-hari. Mereka yakin bahwa Tuhan juga akan memberikan makanan bagi mereka untuk hari esok.

Ketika hendak tidur, anak-anak dan orangtua berdoa bersama, bersyukur kepada Tuhan karena mereka telah menjalani hari yang nyaman dan penuh dengan perjuangan, dengan baik. Oleh karena itu, mereka bersyukur kepada Tuhan bahwa waktu tidur, istirahat dengan tenang, diberikan Tuhan kepada mereka serta memohon perlindungan Tuhan, dalam suasana tidur yang tenang ini, agar Tuhan menjaga mereka sepenuhnya. Mereka sama sekali tidak berdaya dalam suasana tidur itu sehingga hanya dengan penjagaan Tuhan saja mereka dapat bangun keesokan harinya.

Begitu pun ketika mereka bangun, mereka berdoa dan bersyukur kepada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup hari ini. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi esok hari. Hanya Tuhan yang memiliki hari esok, dan hari esok itu diberikan Tuhan kepada umat manusia sesuai dengan kehendak-Nya. Setiap hari selalu baru. Baru bagi umat manusia. Doa-doa yang baru pun disampaikan kepada Tuhan.

Saat Teduh untuk Diri Sendiri
Kalau anggota keluarga yang ada masih terlalu kecil dan individualistis, biasanya ibulah menjadi pihak paling sibuk. Namun demikian, seorang ibu hendaknya mengambil waktu yang tenang untuk dirinya sendiri, untuk berjumpa dengan Tuhannya. Banyak kecemasan yang dirasakan seorang ibu yang tidak pernah dirasakan atau dicemaskan sang suami. Derita anak adalah derita ibu, kata ungkapan. "Sorga berada di bawah telapak kaki ibu," kata orang lagi. Jadi derita dan surga ada dan bertumpu pada perilaku kehidupan seorang ibu.

Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang ibu menyediakan waktu berdoa seorang diri. Manakala semua anggota keluarga sudah tidur dengan tenang, ia perlu bangun dan berdoa, mengutarakan kepada Tuhan semua masalah yang dialami, dihadapi dan digelisahkannya. Saat itu digunakan untuk mencurahkan segenap keluh kesah kepada-Nya, pelindung yang Maha Tangguh, Maha Kuasa dan tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Yesus Kristus akan mendengarkan doa seorang ibu karena memang Ia pun pernah merasakan kasih sayang seorang ibu ketika Ia berada di dunia ini sebagai Anak Manusia, yang lahir di tengah-tengah keluarga Yusuf dan Maria. Berdoalah kepada-Nya, hai kaum ibu, Ia akan mendengarkan keluh kesahmu. Tidak ada kesukaran dunia ini yang tidak pernah dirasakan-Nya, tidak ada derita manusia seberat derita yang pernah ditanggung-Nya. Dalam usia yang singkat, sebagai manusia, Ia telah menanggung penderitaan umat manusia sampai kepada kematian sekalipun.

Utarakanlah persoalanmu kepada-Nya, maka Ia akan memberikan kekuatan dan jalan keluar yang baik kepadamu. Tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan-Nya. Tidak ada kesulitan besar di dunia ini yang tidak dapat diselesaikan-Nya. Ingatlah, bahwa Dialah pencipta, penyedia segala keperluan hidup umat manusia dan segala makhluk yang hidup di bawah langit bumi ini.

Tiada gunung kesulitan yang tidak dapat didaki bersama Yesus Kristus. Tidak ada lembah derita yang begitu dalam yang tidak dapat dijangkau Yesus Kristus. Tidak ada laut perjuangan hidup yang paling kuat gelombangnya yang tidak dapat diteduhkan oleh Kristus. Tidak ada penyakit yang begitu parah yang tidak dapat disembuhkan oleh Kristus. Tidak ada lembah maut yang begitu kelam yang tidak dapat ditaklukkan oleh Kristus. Tiada tangisan yang begitu sedih yang tidak dapat dihiburkan oleh Kristus. Tengadahkan wajahmu ke atas, ulurkan tanganmu dua-duanya kepada-Nya, maka Ia akan melihatmu dan mengulurkan tangan pertolongan untukmu. Gunakanlah saat teduh itu dengan hati sungguh-sungguh.

Ketika Jarak Memisahkan Suami dan Isteri
Kehidupan kota yang begitu rumit dan dinamis membuat suami dan isteri bekerja di tempat yang berbeda dan jauh jaraknya. Karena "jarak" ini banyak godaan yang dihadapi kedua belah pihak. Iblis mencari celah-celah untuk merenggangkan hubungan suami dan isteri karena jarak ini.

Mungkin, Hawa cepat jatuh ke dalam godaan ular itu karena ia berjauhan dari Adam. Dalam jarak yang berjauhan ini, perhatian kadang-kadang terpusat pada sesuatu yang menggoda itu saja, dan tidak menyadari bahaya yang mengancam. Bahaya itu muncul bukan secara tiba-tiba. Datangnya sangat pelahan dan halus, nyaris tidak terasa dan tahu-tahu kita sudah terperangkap di dalamnya. Waktu dan tempat sangat memegang peranan penting dalam "penggodaan." Semakin jauh Anda dari pusat kendali, semakin berkurang tenaga pengendalian Anda.

Doa adalah komunikasi dengan Tuhan. Seringlah berdoa di mana pun Anda berada. Seorang isteri yang jauh dari suaminya harus menyiapkan diri untuk lebih banyak berdoa, baik untuk suaminya dan juga untuk dirinya sendiri. Doa akan meneguhkan iman, memberikan ketentraman kepada jiwa dan mendatangkan keteduhan bagi batin dan perasaan. Juga bagi sang suami, banyak godaan di tempat pekerjaan yang dapat membuat perhatiannya untuk sementara jauh dari kepentingan keluarga.

Kepeduliannya terhadap keluarga hendaknya diungkapkan dalam doa dan Tuhan akan mengatasi jarak itu serta menanamkan "rasa rindu" di dalam diri masing-masing anggota keluarga, untuk berkumpul bersama-sama. Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Kuasa. Ia mengetahui kekurangan-kekurangan umat-Nya dan mampu memberi kekuatan kepada mereka apabila mereka memohon pertolongan kepada-Nya. Ia akan menjawab pada waktu yang tepat.

Suami yang jarang berdoa, lebih dekat kepada bencana yang dapat muncul sewaktu-waktu. Isteri yang lupa berdoa, berarti membiarkan pencobaan mengancam rumah tangganya dan kemungkinan akan lebih banyak menuai ketidakbahagiaan.

Doa yang Efektif
Bagaimana cara berdoa yang efektif? Tanyakan kepada diri kita sendiri. Di dalam lingkungan keluarga, sebagaimana yang telah kita bicarakan pada awal tulisan ini, doa yang efektif itu adalah doa yang disampaikan dengan hati yang tulus, pada saat yang tepat dan kemudian menunggu jawaban dengan sabar. Doa menjadi efektif kalau kita membiarkan Tuhan menyelesaikan persoalan bagi kita. Persoalan kita diselesaikan-Nya? Tanya kita lagi. Ya, dengan semboyan "Ora et Labora." Bekerja dan berdoa.

Di dalam keluarga, doa yang efektif ialah apabila masing-masing pasangan memperlakukan pasangannya dengan penuh pertimbangan, penguasaan diri dan merindukan kesejahteraan pasangannya. Artinya, saling mendoakan dengan penuh kesungguhan. Tanpa pamrih.

Doa sang suami akan menjadi efektif apabila ia melakukan hal yang berikut ini:
"Demikianlah juga kamu," kata Petrus dalam 1 Petrus 3:7, "hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah." Petrus mengungkapkan hubungan suami-istri di sini dengan pengakuan bahwa pihak istri itu adalah "kaum yang lemah" atau memang dalam posisi yang lemah menurut pendapat orang pada zaman itu. Kalau mereka memang lemah maka adalah menjadi kewajiban yang kuat untuk menolongnya.

Banyak perempuan yang memperjuangkan hak-hak asasi kaumnya, karena diperlakukan tidak sebagaimana wajarnya sebagai sesama manusia, juga di dalam keluarga. Sang suami, yang merasa dirinya kuat, bantulah isterimu yang lemah. Maka doamu akan dijawab oleh Tuhan. Mengapa suami berdoa kepada Tuhan? Ya, setidaknya karena ia merasa lemah di hadapan Tuhan untuk menghadapi perjuangan hidup. Kalau Tuhan menolongnya, pertolongan berikutnya wajarlah diberikannya kepada isterinya. Dengan demikian, doanya akan dijawab.

Lebih lanjut Petrus mengatakan di dalam ayat yang sama: "Hormati mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya 'doamu jangan terhalang'." (tulisan tambahan dengan tanda petik dari penulis). Jelas sekali di sini diberikan jawaban bagaimana doa yang efektif itu. "Hormati mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia," artinya, ada kesamaan derajat antara suami dan istri. Doa yang tidak disertai dengan rasa hormat dan kasih sayang tidak akan dijawab oleh Tuhan. Hal itu dikatakan dengan jelas di sini. Hal itu juga berarti, bahwa barangsiapa yang menyiksa isterinya, doanya tidak akan dijawab. Mari kita camkan itu. Sebagai ahli waris kasih karunia, yakni Kerajaan Allah, istri harus diperlakukan dengan baik dan ramah, sederajat, karena sama-sama calon warga sorga.

Sikap dalam doa, hendaknya diungkapkan dengan rasa hormat dan ketenangan yang meneduhkan jiwa dan lingkungan. Kalau kita meminta kepada Tuhan (berdoa), perlukah kita berteriak-teriak seolah-olah Ia kurang peka terhadap permintaan kita?

Coba kita perhatikan apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam Roma 8:2, "Demikianlah juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan."

Sang rasul mengatakan di sini bahwa kita ini lemah, dan selalu memerlukan kekuatan dari Tuhan, bahkan, kadang-kadang seruan kita tidak terucapkan karena tekanan yang begitu dalam menekan sanubari kita. Saat hening, saat teduh, saat yang khusyuk, sangat kita perlukan untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

Suami isteri dan anak-anak dalam keluarga yang berdoa bersama-sama akan tetap dalam ketentraman dan kebahagiaan bersama-sama. Tuhan akan mendengarkan doa mereka. *

By Wina | Sumber: Kalam Hidup, Juni 2005/Yayasan Kalam Hidup, Bandung/e-KONSEL

Read more...

Lima Kebiasaan Pasangan Berbahagia

Menurut pakar perkawinan dan penulis buku How to Be a Couple and Still Be Free, Tina Tessina, memiliki ritual yang dilakukan setiap hari bersama pasangan adalah salah satu rahasia untuk menjaga kemesraan perkawinan. "Kalau Anda ingin hubungan tetap awet, punya kebiasaan harian adalah cara mudah untuk menguatkan ikatan cinta," katanya.

Berdasarkan survei yang dilakukan sebuah majalah di Amerika terhadap pasangan-pasangan di sana, ada 5 kebiasaan yang selalu mereka lakukan untuk membuat pernikahan mereka langgeng.

Kebiasaan 1: Berbicara satu sama lain
Pasangan menikah yang berbahagia pada umumnya mengatakan hubungan dengan pasangannya menjadi lebih hangat setelah mereka duduk bersama dan berbicara. Sayangnya, banyak pasangan yang mengaku mencuri waktu untuk ngobrol di malam hari saja susah.

Setelah menjalin hubungan atau menikah sekian lama, kita kerap mengira otomatis akan tahu apa yang ada dalam pikiran pasangan. Padahal, bila kita tak meluangkan waktu untuk bicara satu sama lain, bagaimana kedua pasangan bisa saling membuka diri dan mengenal karakter masing-masing? Karena itulah, jangan biarkan curhat menjadi barang langka dalam hubungan Anda.

Kebiasaan 2: Tertawa bersama
Hidup ini sudah cukup serius bukan? Karena itulah Anda dan pasangan perlu memasukkan unsur humor dalam perkawinan agar hati lebih ringan dan rileks. Saling melempar cerita lucu atau mengingat kejadian-kejadian di masa pacaran dulu juga bisa Anda lakukan untuk berbagi tawa dengan pasangan.

Anda juga bisa melakukan hal-hal "konyol" dan kekanak-kanakan bersama pasangan untuk mengulang masa-masa pacaran yang tanpa beban. "Kalau Anda tak bertingkah konyol dengan suami, lalu dengan siapa lagi?" kata Tessina.

Kebiasaan 3: Jaga keintiman
Pasangan yang sama-sama bekerja dan hidup di kota besar seringkali kehabisan energi untuk menikmati waktu berduaan dengan pasangan. Survei yang dilakukan tim peneliti dari University of Chicago pada tahun 1994 terhadap suami isteri di AS menunjukkan, mayoritas responden mengaku melakukan hubungan seksual dengan pasangannya hanya seminggu sekali.

Jangan biarkan hubungan Anda dan pasangan menjadi monoton dan rutin. Melakukan kemesraan spontan bisa jadi salah satu cara untuk menjaga keintiman hubungan. Jangan segan untuk mengekspresikan cinta Anda lewat genggaman tangan, pelukan, atau ciuman. Sentuhan-sentuhan kecil yang dilakukan setiap hari akan lebih mendekatkan hati dan tentu saja mengobarkan gairah.

Kebiasaan 4: Lakukan hobi
Mengurus rumah dan pekerjaan kantor setiap hari lama-lama bisa menjadi rutinitas yang membosankan. Untuk menyiasatinya, luangkan waktu untuk berkumpul dengan para sahabat dan melakukan hobi Anda sendiri. Pikiran yang plong dan hati yang ringan akan berdampak pada sehatnya hubungan Anda dan pasangan.

Kebiasaan 5: Ibadah bersama
Dalam survei yang dilakukan peneliti dari Universitas Chicago, AS, terhadap pasangan menikah, 75 persen mengatakan, mereka yang punya kebiasaan berdoa bersama pasangan mengaku memiliki perkawinan yang "sangat bahagia". Beribadah bersama pasangan diyakini mampu meningkatkan rasa respek satu sama lain dan melancarkan komunikasi.

Kehadiran Tuhan dalam kehidupan pernikahan adalah sebuah hal yang sangat penting. Karena kasih antara suami dan isteri harus berlandaskan kasih Kristus sendiri. Jadi yakinlah, selama kasih Allah itu hadir dalam kehidupan suami isteri, situasi sesulit apapun akan mendatangkan kebaikan pada akhirnya dan nama Allah akan dipermuliakan melalui keluarga Anda. *

Sumber: jawaban.com

Read more...

Sepuluh Prinsip Tuhan untuk Pernikahan

Pernikahan bahagia tentu menjadi keiginan setiap pasangan suami isteri. Sebenarnya itu juga kerinduan Tuhan bagi setiap anak-anak-Nya, bahkan Dia telah memberikan prinsip-prinsipnya untuk meraih hal tersebut. Jika kita mau taat mengikuti apa yang Tuhan tuliskan dalam Firman-Nya, pernikahan yang bahagia itu akan menjadi milik kita. Di bawah ini adalah sepuluh prinsip dan hukum yang akan menunjukkan jalan untuk melalui pernikahan yang bahagia. Anda akan mengerti makna pernikahan bahagia melalui hal ini:

1. Jangan membawa-bawa kesalahan masa lalu.
"Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. (Lukas 6:37). Ini hukum tabur tuai dalam hal pengampunan.

2. Abaikan seluruh dunia, peduli satu sama lain.
Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya (Markus 8:36). Prioritas Anda harus benar dalam menjalani hidup. Adalah salah jika Anda sukses di bidang lain sementara hal yang mendasar yaitu keluarga Anda, sedang Anda pertaruhkan.

3. Jangan tidur dengan pertentangan yang belum selesai.
Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu (Efesus 4:26). Pemberesan suatu pertentangan membuat jiwa Anda sehat dan tidak ada tembok pemisah yang merusak komunikasi dengan pasangan.

4. Katakan pujian paling tidak sekali sehari pada pasangan Anda.
Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati. (Amsal 15:4). Jikalau Anda berbahagia saat dipuji serta dihargai orang lain, demikian juga dengan pasangan Anda saat Anda puji.

5. Jangan temui pasangan tanpa perasaan kasih sayang.
Kiranya ia mencium aku dengan kecupan! Karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur (Kidung Agung 1:2). Penampilan dan sikap tidak bahagia tidak akan membawa keuntungan apapun, pilihlah sikap positif, maka semua keadaan akan menjadi lebih baik.

6. Bersukacita dalam kaya atau miskin karena Tuhan menyatukan Anda.
Lebih baik sepiring sayur dengan kasih dari pada lembu tambun dengan kebencian (Amsal 15:7). Tuhan tidak pernah berkehendak Anda hidup dalam penderitaan ketika Dia mengijinkan Anda dan pasangan Anda disatukan dalam pernikahan. Namun jika keadaan buruk menimpa, bertahanlah, karena masalah apapun akan selalu berakhir dan diselesaikan.

7. Jika harus memilih antara keinginan anda atau pilihan yang baik dari pasangan anda, pilihlah pendapat pasangan anda.
Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya (Amsal 3:27). Ada kemenangan dari suatu tindakan mengalah. Ada tuaian setelah Anda selesai menabur, tunggulah waktunya dan selalulah menabur hal baik.

8. Selama masih bernafas, pasangan Anda mungkin akan menyakiti Anda, belajarlah untuk mengampuni.
Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia. (Lukas 17:3-4). Anda kenal betul jika Tuhan adalah pengampun, maka pilihlah sikap untuk mampu mengampuni sesama jika terjadi kesalahan.

9. Jangan gunakan firman Tuhan, iman bahkan nama Tuhan sebagai palu penghancur.
Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. (Yohanes 3:17). Jangan pernah mengatasnamakan Tuhan untuk menghancurkan hidup pasangan dan sesama Anda. Jika Tuhan saja mengasihi orang berdosa, siapakah Anda jika Anda menghakimi pasangan dan sesama Anda.

10. Jadikan kasih sebagai panduan.
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:4-5). Dalam kasih tersimpan segala yang disebut kebaikan.

Read more...

recent comments


Cari di ezramos.blogspot.com...

recommended links

     » Christian Men's Network Indonesia
     » Wanita Bijak
     » Christian Parent
     » All About Parenting
     » Focus On The Family
     » Children’s Ministry Online
     » Jesus for Children
     » Salvation Kids
     » Kid Explorers
     » CBH (Children's Bible Hours)
» Blog ini didedikasikan untuk kedua anak yang kami kasihi, Ezra dan Amos serta kepada seluruh orangtua Kristen yang memiliki anak-anak agar mereka tetap memegang teguh komitmen dan tanggung jawab atas kehidupan anak-anak yang telah Tuhan percayakan kepada mereka. God bless you!

"Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita." (Ams. 23:15)

meet the parents

Add me Add me

  © 2008 Blogger template by Ourblogtemplates.com

Back to TOP