Showing posts with label disiplin. Show all posts
Showing posts with label disiplin. Show all posts

Menonton TV Sebabkan Masalah Psikologi Anak

Dalam sebuah studi yang melibatkan sekitar 1.013 anak berusia di antara 10-11 tahun, ditemukan bahwa mereka yang menonton televisi, menatap layar komputer, atau kombinasinya, lebih dari 2 jam per hari akan mengalami masalah psikologi.

Masalah psikologi yang dimaksud adalah kesulitan menjalin pertemanan, sulit berempati dengan teman, dan dilaporkan merasa tidak bahagia. Penelitian dilakukan dengan mengikatkan alat pengukur accelerometer, sebuah alat untuk mengukur aktivitas si anak setiap 10 detik selama ia terjaga selama 7 hari.

Kemudian para anak diminta untuk menceritakan seberapa lama mereka menonton televisi atua menggunakan komputer di luar waktu harus mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mereka juga diminta menjawab pertanyaan seperti, seberapa sering mereka merasa tidak bahagia, mood berantakan, ingin menangis, atau kesepian.

Jawaban para responden ini dikombinasikan untuk memeroleh nilai keseluruhan yang mengindikasikan apakah si anak memiliki masalah signifikan.

Angie S. Page, PhD, dari University of Bristol di Inggris mengatakan bahwa tak ada hubungan antara waktu mereka bergerak atau tidak dengan kesehatan psikologi anak. Nampaknya apa yang dilakukan saat itulah yang penting. Misal, jika Anda memilih menonton televisi untuk hiburan, maka ini akan berkaitan dengan kesehatan mental yang negatif.

Dikutip dari WebMD, Page mengatkan bahwa kita tidak bisa mengandalkan aktivitas fisik untuk mengkompensasi lamanya waktu menatap layar televisi atau komputer. Menonton televisi atau bermain permainan komputer lebih dari 2 jam per hari sangat berhubungan dengan permasalahan psikologi, sulit menghormati orang lain, dan tingkat aktif anak.

Para orangtua harus mendorong anak untuk melakukan aktivitas fisik agar anaknya mengurangi waktu menonton televisi atau menatap layar komputer. Page menekankan bahwa studi tersebut memang menemukan konsekuensi pada anak yang menatap layar komputer dan televisi lebih dari dua jam, dalam hal fisik dan mental. Anak yang melakukan aktivitas fisik, secara umum dinilai memiliki kesehatan psikologi yang lebih sehat. (Kompas)

Read more...

Ajarkan Anak Etika Ber-SMS

Sekarang banyak anak-anak menggunakan telepon selular. Alat komunikasi tersebut dapat pula berfungsi untuk alat bersosialisasi bagi anak Anda.

Namun, anak-anak perlu diajari bertanggungjawab menggunakan benda pintar itu. Berikut lima etika ber-SMS yang perlu diajarkan kepada buah hati Anda.

1. Penggunaan ponsel jangan sampai menggantikan percakapan
seringkali anak Anda menggunakan ponsel untuk berkirim pesan pendek, baik kepada teman sekolah, kakak, adik, atau mungkin kepada Anda. Jangan sampai keasyikan ber-SMS mereka menggantikan waktu interaksi mereka dengan sekitarnya.

2. Hindari SMS sambil bicara
Berbicara sembari menegetik sms sama kasarnya dengan menjawab kasar lawan bicara melalui telepon. Coba tanyakan kepada putra-putri anda, bagaimana rasanya jika seseorang memotong pembicaraan mereka. Atau, ketika mereka bicara dan yang diajak bicara justru asyik ber- SMS.

3. Jangan membalas sms ketika sedang kesal
Anak Anda perlu memahami, ketika mengirim sms itu artinya mereka tak dapat menarik kembali pesan yang dikirim. Mintalah mereka untuk bersikap tenang sebelum membalas SMS. salah-salah kalimat yang dikirim anak Anda mengandung kata-kata kasar. Minta dia tenang sebelum datang komentar sinis.

4. Jangan meminta maaf lewat sms
Jangan biasakan buah hati untuk meminta maaf kepada orang lain lewat SMS. Biasakan mereka meminta maaf dengan bertemu dan bertatap muka langsung. Beri pengertian padanya, meminta maaf lewat SMS bukan hanya tak baik, namun ada kesan kurang tulus apabila permintaan maaf itu dikirim lewas SMS. Ini juga bisa membantu pembentukan karakter anak Anda dan membangun rasa percaya diri.

5. Ada waktu dan tempat untuk ber-SMS
Tak seharusnya mengirim SMS ketika belajar dalam kelas, di tempat ibadah, saat makan malam, atau di bisokop. Ajari pula anak untuk tidak mengirim SMS saat mengemudi atau berkendara. (VIVAnews)

Read more...

Berapa Durasi Ideal Anak Nonton TV Sehari?


Buah hati Anda hobi menonton televisi? Jika iya, mungkin saatnya Anda perlu memperhatikan berapa lama si kecil menonton TV dalam sehari. Sebab, menurut Prof. Matt Sanders, direktur 'Parenting and Family Support Centre di University of Queensland, menonton TV adalah kegiatan pasif.

"Jika anak-anak terlalu banyak menghabiskan waktu menonton televisi, mereka akan kehilangan kesempatan untuk belajar melalui kegiatan interaktif. Karena itu, menyelesaikan PR, bermain di luar ruangan, berolahraga, dan membaca merupakan sederet aktivitas yang perlu dilakukan anak-anak," ujar Prof. Sanders.

Idealnya, Sanders melanjutkan, seperti dikutip dari laman www.couriermail.com.au, anak diusia 7-11 tahun minimal bisa menonton televisi selama 21 jam selama satu minggu. Itu berarti 3 jam dalam sehari.

"Sedangkan bagi anak-anak sampai usia 12 tahun, saya sarankan maksimal hanya satu jam per hari selama seminggu khusus di hari sekolah dan sedikit lebih lama di akhir pekan."

Dia juga menyarankan, pengaturan menonton program televisi untuk anak perlu direncanakan. Beritahu pada anak-anak Anda tentang rencana Anda dan meminta bantuan mereka membatasi menyaksikan acara televisi.

Baca panduan menonton TV dengan anak Anda dan tuliskan program mana yang ingin mereka nonton. Bila Anda dan buah hati setuju dengan aturan ini, jelaskan aturan-aturan dasar baru, seperti 'hanya menonton program yang dipilih', 'televisi akan dimatikan pada waktu tertentu', atau 'tidak boleh nonton TV sebelum PR selesai'.

Saat menetapkan aturan menonton televisi, penting untuk memasukkan sesuatu untuk memerangi anak-anak agar bisa mengurangi kebiasaannya di depan layar kaca. Misalnya, ajak mereka menonton acara yang mendidik.

"Membuat aturan ini terkadang sulit bagi orangtua. Tapi, cara ini perlu dilakukan sejak dini, agar buah hati Anda tidak tumbuh menjadi anak yang malas. Agar lebih efektif, sebaiknya Anda baru menonton televisi setelah si kecil tidur," kata Prof Sanders menganjurkan. (VIVAnews)

Read more...

Bahaya Selalu Menuruti Kemauan Anak

Apakah Anda termasuk orang tua yang kerap mengikuti keinginan anak, alias orangtua penurut? Hati-hati, hal ini bisa menumbuhkan perilaku manja dan egois pada si kecil.

Memang, jika berada dalam situasi saat anak ngotot, seringkali orangtua terpaksa menuruti keinginan untuk menghindari konflik lebih besar. Terutama jika sedang ada di ruang publik. Anak sangat pintar, dan bisa 'memanipulasi' untuk mendapatkan keinginanannya. Sehingga, terkadang orangtua terjebak dalam situasi selalu menuruti keinginan anak.

Ingin mengubah kebiasaan ini? Cobalah lakukan 3 hal berikut untuk mendisplinkan anak, dan agar Anda tidak menjadi orangtua terlalu penurut:

1. Tenang dan tegas
Menghadapi anak-anak yang menangis atau marah, Anda harus tetap tenang. Anak-anak sangat fokus pada ekspresi wajah, nada suara dan bahasa tubuh Anda. Jika mereka marah atau khawatir, mereka hampir tidak mendengar kata-kata Anda. Jangan berteriak atau membentaknya, karena mereka berhenti untuk mendengarkan dan tidak merasa takut.

Jadi, Anda harus tenang dan tegas. Tatap matanya dan lihat dengan tajam, tunjukkan kalau Anda tidak menyukainya. Mintalah padanaya dengan baik, untuk berhenti melakukan hal yang tidak baik.

2. Konsisten
Jika Anda memiliki peraturan baik di rumah maupun di luar rumah, usahakan untuk selalu menerapkannya. Bila sewaktu-waktu Anda membiarkannya, anak-anak malah bingung dan beranggapan tidak masalah jika melanggar peraturan. Konsistensi sangat penting agar anak tidak membuat Anda menurutinya.

3. Konsekuensi
Pekerjaan orangtua adalah memuji anak saat mereka melakukan hal baik dan memberikan hukuman jika anak melanggar peraturan. Hal ini untuk menunjukkan pada anak setiap hal memiliki konsekuensi. Jangan segan untuk memberikan hadiah atau sekedar pujian, jika anak mendapat nilai bagus atau membantu mengerjakan pekerjaan rumah.

Lalu, jika dia melakukan kesalahan berikanlah hukuman yang sesuai dengan kesalahannya. Dengan begitu anak menghargai Anda sebagai orangtua dan menaruh hormat, bukan hanya sekedar rasa takut. (VIVAnews)

Read more...

Facebook Lebih Penting dari Keluarga?

Fakta mengejutkan diketahui dari survei yang dilakukan oleh National Family Week, sebuah gerakan tahunan di Inggris yang dibentuk untuk meningkatkan kualitas hubungan keluarga. Lewat poling ini terungkap, bagi anak-anak, khususnya usia remaja, Facebook dan Twitter lebih penting daripada keluarga mereka.

Sebanyak 28 persen dari anak berusia 15 tahun mengungkap laman yang paling penting bagi mereka adalah Facebook, Twitter dan MSN. Lalu, jejaring sosial memiliki dampak lebih besar pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Lalu, ketika ditanya mengenai tiga hal yang paling penting bagi mereka, anak perempuan menjawab pertama, memiliki teman; kedua, keluarga; dan ketiga, akun jejaring sosial.

Lalu, pada anak laki-laki, tiga hal yang paling penting bagi mereka adalah pertama keluarga, kedua uang dan ketiga popularitas serta memiliki teman. Hanya enam persen dari anak laki-laki yang memilih situs jejaring sosial, jika dibandingkan anak perempuan adalah empat di antara sepuluh anak.

Survei ini melibatkan 3.000 orangtua dan 1.000 anak di seluruh wilayah Inggris. Dari survei diketahui orangtua sangat membesar-besarkan peran mereka dalam kehidupan anak-anak. Dari dua pertiga orang tua (66 persen) mengatakan, mereka berpikir kalau merekalah yang paling berpengaruh pada kehidupan anak. Tetapi, hanya 49 persen anak yang mengatakan hal sama.

Survei juga mengukur waktu yang dihabiskan para remaja bersama keluarga. Hasilnya, sebanyak seperempat (26 persen) dari anak laki-laki, beranggapan tidak menghabiskan waktu yang cukup untuk keluarga, dibandingkan dengan anak perempuan hanya 16 persen. Lalu, satu dari empat anak laki-laki ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarganya, dan anak perempuan yang memiliki keinginan tersebut hanya 15 persen. (VIVAnews)

Read more...

7 Cara Terbaik Latih Anak Bertanggung Jawab

Apakah Anda sedang mencari cara untuk mendidik anak-anak supaya bisa bertanggung jawab di rumah? Jika segala hal sudah dicoba tapi tak kunjung berhasil, mungkin Anda bisa mengadopsi tujuh tips mendidik si kecil berikut ini.

1. Beri beberapa tanggung jawab
Sejak anak sudah bisa memahami perkataan Anda (biasanya di atas 3 tahun) adalah awal terbaik untuk mengajarkan tanggung jawab pada anak. Minta si kecil untuk mengembalikan mainannya ke tempat penyimpanan bisa jadi didikan awal untuknya.

Untuk usia sekolah, orang tua bisa memberinya tanggung jawab, misalnya dengan sedikit melebihkan uang saku agar ia mulai belajar mengelola uang sendiri. Ini bisa menjadi cara mengenalkan uang pada anak.

2. Biarkan dia belajar mengambil keputusan
Memberi anak kesempatan untuk membuat beberapa pilihan sendiri akan mengajarinya tanggung jawab. Cara ini juga sekaligus membuat anak mandiri.

3. Latihan menjalankan tugas
Satu-satunya cara untuk menguasai keahlian apapun ialah melalui praktek. Dengan membiarkan dia menangani tugas sesuai dengan usia, seperti berpakaian, atau menyelesaikan PR, hal ini akan membantunya lebih mandiri.

4. Memberi contoh baik
Tanggung jawab Anda sebagai orangtua adalah memberikan contoh baik di mata si kecil. "Apakah kita mendorong atau tidak, anak-anak selalu belajar dari contoh," kata Thomas S. Greenspon, Ph.D. psikolog dan terapis pernikahan dan keluarga.

Selalu menepati janji yang telah diucapkan kepada si kecil, juga merupakan cara Anda memberi contoh kepadanya.

5. Manfaatkan buku
Buku cerita anak banyak mengandung pesan. Jadi, ketika ada waktu untuk membacakan cerita, Anda bisa memilih buku yang menggambarkan tentang tanggung jawab. Pilih juga buku dengan karakter tokoh dan setting menarik untuk dapat menarik perhatiannya.

6. Dukung si kecil lewati situasi sulit
Naluri utama orangtua ialah mengarahkan dan melindungi anak ketimbang mengatakan apa yang harus dia lakukan secara lugas. Lebih baik berikan bimbingan pada anak melalui proses hingga kesimpulan yang dibuatnya sendiri. Ajukan pertanyaan-pertanyaan dan dorong si kecil untuk berpikir sendiri dengan dukungan Anda.

7. Tunjukkan kepadanya gambaran yang lebih besar
Tujuannya untuk mendorong agar si kecil punya kesadaran bertanggung jawab. Jadi, bukan karena semata-mata disuruh. Beri penjelasan kepadanya bahwa tugas membantu pekerjaan rumah ikut mengurangi beban seluruh anggota keluarga. Cara ini sekaligus menuntunnya memahami bahwa tindakan mereka berdampak pada orang lain. Dan, jangan lupa beri si kecil pujian jika berhasil mampu bertanggung jawab. (VIVAnews)

Read more...

Cara Terbaik Ajarkan Anak Sopan Santun

Orangtua terkadang merasa kesulitan membiasakan anak agar memiliki perilaku yang sopan. Mungkin, sudah banyak cara yang Anda terapkan, tapi agaknya si kecil tidak mau nurut. Meskipun sekadar mengatakan “permisi”, "tolong" dan "terima kasih".

Cara terbaik untuk mengajar anak tata krama adalah dengan memberinya contoh perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun di sekolah. Berikut ini ada beberapa aktivitas yang dapat Anda manfaatkan untuk membimbingnya ke arah yang positif, seperti dikutip dari Modern Mom.

Lewat buku
Membaca buku bersama anak merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengajarkan sikap sopan santun. Ketika memilih sebuah buku untuk anak, pilihlah yang sesuai dengan usia dan karakter yang dikaguminya.

Agar si kecil makin tertarik, pilihlah buku-buku yang mudah dicerna, berwarna, dan banyak gambarnya. Sekarang ini, hampir semua toko buku menyediakan ragam buku mengajarkan sopan santun untuk anak.

Sambil bermain
Mengadakan pesta minum teh di rumah memungkinkan Anda untuk mengajarkan anak-anak Anda, misalnya mengenai bagaimana mengatur meja, sampai tempat duduk.

Sementara anak-anak yang lebih muda bisa belajar sopan santun, anak-anak yang lebih tua dapat menikmati manfaat pesta teh. Mereka akan belajar banyak hal, menyajikan makanan di meja yang benar, meminta sesuatu yang berada di seberang meja, dan bagaimana menyudahi makanan.

Setelah Anda merasa ada kemajuan etiket etiket pada anak-anak, coba pertimbangkan untuk mengajak mereka menghadiri pesta minum teh secara formal.

Bermain sandiwara
Seni peran, misalnya main sandiwara, efektif untuk mengajarkan sopan santun pada si kecil. Untuk mengajarkan perilaku anak Anda melalui bermain peran, berikan contoh dialog, lalu jelaskan skenarionya.

Sebagai contoh, jika Anda ingin mengajarkan si kecil untuk selalu mengatakan "tolong," jelaskan apa pentingnya mengatakan kata itu dan pada situasi seperti apa harus mengatakannya pada orang lain.

Atau, ketika Anda ingin membiasakan si kecil mengatakan “terima kasih,” caranya Anda bisa menyerahkan mainan kepadanya. Lalu mendorong dia mengatakan “terima kasih.” Jangan lupa, Anda merespon dengan mengatakan “terima kasih kembali.”

Banyak hal soal etiket yang bisa Anda masukkan dalam permainan peran ini. Yang penting lagi, pastikan juga bahwa peran anak dalam permainan sandiwara ini sesuai dengan usianya. (VIVAnews)

Read more...

Bagaimana Seharusnya Mendisiplin Anak?

Beberapa dekade yang lalu, memukul anak di pantat adalah praktik yang diterima secara luas. Namun demikian, dalam tahun-tahun terakhir ini memukul anak (dan bentuk-bentuk hukuman badan lainnya) telah diganti dengan “time-outs” (berhenti dari aktifitas-aktifitas yang mereka sukai) dan bentuk-bentuk hukuman lainnya yang tidak bersifat hukuman fisik. Di beberapa negara, memukul anak bahkan dianggap ilegal.

Banyak orangtua yang takut memukul anaknya karena akan dilaporkan pada pemerintah dan akibatnya anak tersebut akan diambil dari mereka. Seorang anak tidak boleh didisiplin secara fisik sampai mengakibatkan kerusakan/gangguan fisik. Namun demikian, menurut Alkitab, mendisiplin anak secara fisik pada batas-batas tertentu adalah baik dan mendukung pertumbuhan serta kebaikan sang anak.

Banyak ayat Alkitab yang mendorong disiplin secara fisik. “Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati.” Masih ada ayat-ayat lain yang mendukung penghukuman secara fisik (Amsal 13:24; 22:15; 20:30). Alkitab sangat menekankan pentingnya disiplin; itu adalah sesuatu yang harus kita miliki supaya menjadi orang-orang yang produktif dan hal ini lebih mudah dipelajari ketika kita masih muda. Anak-anak yang tidak didisiplin akan bertumbuh sebagai pemberontak, tidak menghormati otoritas dan akibatnya mereka tidak akan mau menaati dan mengikuti Tuhan. Tuhan menggunakan disiplin untuk mengoreksi kita dan memimpin kita pada jalan yang benar, dan untuk mendorong kita menyesali perbuatan-perbuatan kita (Mazmur 94:12; Amsal 1:7, 6:23, 12:1, 13:1, 15:5; Yesaya 38:16; Ibrani 12:9). Ini hanyalah beberapa ayat yang berbicara mengenai faedah dari disiplin.

Di sinilah masalahnya, seringkali para orangtua terlalu pasif atau terlalu agresif dalam usaha mereka membesarkan anak-anak mereka. Mereka yang tidak percaya soal memukul anak seringkali tidak punya kemampuan untuk mengoreksi dan mendisiplin secara tepat, sehingga anak mereka bertumbuh secara liar dan suka melawan. Hal ini merusak anak dalam jangka panjang. “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya” (Amsal 29:15). Ada pula orangtua yang salah mengerti definisi Alkitab mengenai disiplin (atau mungkin mereka memang orang yang kasar dan suka menyiksa) dan menggunakan disiplin untuk membenarkan kekasaran dan penyiksaan terhadap anak-anak mereka.

Disiplin digunakan untuk mengoreksi dan mendidik orang untuk berjalan pada jalan yang benar. “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibrani 12:11). Disiplin dari Tuhan adalah penuh kasih, sebagaimana mestinya antara orangtua dan anak. Memukul anak tidak boleh menyebabkan gangguan yang permanen atau untuk menyakiti, tapi memukul secara cepat (di bagian belakang/pantat di mana paling banyak daging) untuk mengajar anak bahwa apa yang dilakukannya tidak dapat diterima. Hal ini tidak boleh dilakukan untuk melampiaskan amarah atau rasa frustrasi kita, atau secara tidak terkontrol.

“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4). Mendidik anak “dalam ajaran dan nasihat Tuhan” termasuk menghukum, mengoreksi, dan ya, disiplin secara fisik dalam kasih.

Sumber: Got Question?

Read more...

Berilah Anak Anda Hati yang Berpaut kepada Allah

Apakah yang harus Anda lakukan supaya dapat memberi kepada anak Anda kasih yang matang dan penuh gairah kepada Allah, agar mereka memiliki hidup rohani yang bertumbuh? Bagaimanapun juga, sudah merupakan rencana Allah bahwa orangtua maupun para pendidik bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan nilai-nilai hidup rohani yang sejati kepada anak-anak mereka. Jadi, jawabannya dimulai dari diri Anda sendiri.

Teladan apa yang telah Anda tunjukkan di pentas kehidupan keluarga Anda? Iman Timotius yang tulus mula-mula terdapat di dalam diri neneknya, Lois, dan ibunya, Eunike (2 Timotius 1:5). Anak-anak Anda tidak akan menangkap apa yang tidak ada pada Anda. Sesungguhnya, jika kehidupan rohani Anda sendiri saja lemah, maka hal ini hanya akan membuat mereka kebal terhadap hal-hal rohani, sehingga mereka tidak dapat menerima apa yang sebenarnya harus mereka terima.

Kata-kata Paulus dalam 2 Timotius 3:14,15 menunjukkan bahwa sasaran kita yang sesungguhnya adalah tahap yang ketiga dari tiga tahap yang ada. Yang pertama ialah pengetahuan (informasi yang dapat diandalkan tentang Allah). Yang kedua ialah belajar (penerapan pribadi dari kebenaran-kebenaran Allah itu). Dan yang ketiga ialah hikmat (suatu pola dalam memandang sesuatu yang sesuai dengan sudut pandang Allah). Orangtua yang berhasil dalam menolong anak-anak mereka untuk mencapai tahap yang ketiga biasanya adalah orang-orang yang aktif dalam beberapa aspek kunci. Namun sebelum memperhatikan beberapa saran yang praktis, marilah pertama-tama secara pribadi kita memeriksa diri kita sendiri.

1. Apakah kehidupan rohani saya pantas untuk ditiru? Apakah saya suka berdoa secara pribadi sebagai seorang juru syafaat yang mendoakan berbagai kebutuhan keluarga saya?

2. Apakah saya mempunyai kehausan yang wajar untuk perkara-perkara rohani, atau apakah berdoa, pemahaman Alkitab, dan kegiatan-kegiatan gereja itu hanya sekadar kebiasaan rutin atau sesuatu yang sebenarnya tidak mutlak harus dilakukan?

3. Apakah tindakan disiplin saya terhadap anak saya itu menimbulkan di dalam dirinya suatu rasa hormat yang seimbang terhadap kekuasaan atau wewenang yang akan menolong dia untuk secara sukarela bersedia taat kepada kekuasaan Allah?

4. Apakah saya mengajak anak saya untuk membuka firman Allah waktu membicarakan masalah-masalahnya, waktu membahas sifat-sifat positif yang perlu diraih, waktu membahas peristiwa-peristiwa dunia yang memprihatinkan anak itu, atau waktu menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang hidup ini?

5. Apakah kalau anak saya datang kepada saya untuk mengemukakan apa yang dibutuhkannya, respon saya yang wajar ialah berdoa diiringi dengan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan? Apakah dia melihat saya sebagai orang yang selalu membawa pertama-tama berbagai persoalan yang dihadapi kepada Allah? Apakah keluarga kita suka berdoa bersama-sama secara wajar dan spontan pada waktu-waktu tertentu selain daripada waktu makan atau waktu hendak tidur malam?

Penyelidikan psikologi menunjukkan bahwa sekitar 85% dari kepribadian anak Anda pada waktu ia menjadi dewasa sudah terbentuk pada waktu anak itu menjelang umur enam tahun. Jadi, kesempatan terbaik Anda agar dapat dengan berhasil mengasihi dan menertibkan anak Anda secara efektif ialah selama enam tahun pertama itu, yang juga merupakan tahun-tahun yang kritis itu. Kemudian, untuk menangani 15% yang tersisa, berikut ini ada beberapa saran:

1. Jika Anda belum pernah menyerahkan anak Anda kepada Allah secara khusus dengan menyebutkan namanya, lakukan hal ini sekarang juga. Serahkanlah anak Anda kepada-Nya dan akuilah bahwa anak itu akan berada di dalam tangan Anda hanya untuk sementara waktu saja.

2. Bimbinglah anak Anda kepada Kristus. Sedini mungkin jelaskanlah Injil secara sederhana dan dengan bahasa yang dapat ia mengerti. Supaya sejak kecil sekali anak Anda dapat mengerti dengan jelas bahwa dirinya adalah orang berdosa dan bahwa satu-satunya jalan untuk mendapat pengampunan dosa dan hidup yang kekal ialah dengan percaya bahwa Tuhan Yesus sudah mati di kayu salib untuk menanggung hukuman dosanya. Terangkan juga bahwa dengan menerima Tuhan Yesus di dalam hidupnya ia akan diberi kesanggupan untuk dapat mentaati firman Allah dengan kekuatan Roh Allah sendiri.

3. Berdoalah untuk anak Anda setiap hari. Usahakanlah untuk selalu mengetahui berbagai kebutuhannya yang khusus sehingga Anda dapat berdoa untuk dia secara spesifik. Biarlah anak Anda mengetahui bahwa Anda berdoa untuk dia. Jangan lupa untuk senantiasa menunjukkan berbagai jawaban doa yang diperoleh dalam kehidupan anak Anda. Seringlah berdoa untuk kepentingannya di masa yang akan datang, seperti waktu liburan, teman hidup, dan anak-anak mereka kelak.

4. Binalah suatu suasana yang seimbang antara gelak tawa, petualangan, kejutan, saling memperhatikan, musik indah, buku-buku yang bermutu, dan kawan-kawan yang baik. Buatlah agar mereka betah tinggal di rumah Anda. Salah satu cara untuk menguji kenyamanan suasana rumah Anda ialah dengan melihat apakah anak-anak tetangga suka berkumpul di situ!

5. Sering-seringlah menyediakan waktu untuk bergaul dan untuk saling berbagi pengalaman rohani sebagai satu keluarga, rancanglah saat itu sedemikian rupa supaya dapat dinikmati dan masih dalam jangkauan perhatian anak Anda. Ajaklah dia untuk ikut berpartisipasi. Sesuaikan bahan pembicaraannya dengan batas-batas kemampuan anak Anda. Berilah anak Anda penghargaan untuk ayat-ayat Alkitab yang dihafalkannya.

6. Sediakan waktu untuk kebaktian keluarga yang dilakukan secara spontan. Jika ada kejadian menggembirakan atau yang patut dirayakan, bersyukurlah kepada Allah dengan menyanyi dan berdoa bersama.

7. Libatkan anak Anda dalam kegiatan Kristen yang efektif seperti retret dengan pemuda gereja, berkemah di waktu libur, dan acara-acara pramuka atau acara muda-mudi yang disponsori oleh gereja Anda.

8. Jawablah pertanyaan-pertanyaan anak Anda tentang perkara-perkara rohani dengan serius. Jangan menertawakannya jika ia ingin mengetahui apakah nyamuk itu akan masuk surga; pakailah pertanyaan itu sebagai kesempatan untuk membicarakan tentang janji kehidupan yang kekal yang dikaruniakan oleh Allah kepada kita di dalam Yesus Kristus. Jika Anda belum mengetahui jawabannya, akuilah dengan terus terang; lalu selidikilah Alkitab bersama untuk memperoleh keterangan yang lebih lanjut.

9. Pakailah kesempatan hari libur atau peristiwa-peristiwa istimewa lainnya untuk berbicara tentang iman Anda. Mungkin tidak ada saat yang lebih baik untuk membicarakan tentang kasih Allah kepada umat manusia selain pada malam Natal, atau tentang kekuasaan-Nya pada hari Paskah? Bahkan hari ulang tahun pun dapat dijadikan kesempatan untuk menekankan keunikan dan betapa berharganya orang yang sedang berulang tahun itu di dalam pemandangan Allah, dan hari ulang tahun pernikahan adalah saat yang wajar untuk membahas rencana Allah tentang pernikahan.

10. Tolonglah anak Anda agar ia mengenal dengan baik dan merasa betah berada di gereja Anda dengan para anggota gereja yang lain, dengan berbagai upacara kebaktian, dan segala macam kegiatannya.

11. Usahakanlah supaya anak Anda mengetahui atau membaca riwayat hidup tokoh-tokoh Kristen dan terbuka terhadap musik Kristen masa kini yang mengandung amanat yang jelas.

12. Gantungkanlah peta dunia pada dinding di rumah Anda dan pelajarilah secara teratur daerah-daerah yang dilanda bala kelaparan, pergolakan politik, dan kebutuhan rohani. Mintalah keterangan dari kelompok-kelompok utusan Injil tentang apa yang sedang dilakukan Allah di berbagai negara.

13. Undanglah para utusan Injil dan orang-orang yang mengabdikan diri sepenuhnya untuk melayani Tuhan berkunjung ke rumah Anda. Doronglah anak Anda untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui bagaimana Allah telah memanggil orang-orang itu.

14. Tempelkanlah potret-potret para utusan Injil yang pernah Anda jumpai di tempat yang mudah terlihat di ruang keluarga Anda. Berkirimlah surat dengan mereka. Berdoalah bagi mereka dan sebagai keluarga berilah persembahan untuk kebutuhan mereka.

15. Dalam masa liburan keluarga kunjungilah badan-badan misi atau kelompok pelayanan di dalam kota atau di daerah tempat Anda berlibur.

16. Perhatikanlah kawan-kawan anak Anda yang belum mengenal Kristus. Berdoa dan buatlah rencana untuk dapat bergaul bersama-sama dengan mereka supaya terbuka kesempatan untuk menceritakan berita Injil kepada mereka. Usahakanlah agar Anda dan anak Anda siap dan mengetahui apa yang harus dikatakan apabila terbuka kesempatan itu.

17. Dalam masa remaja, anak Anda sudah harus mempunyai iman yang mampu berdiri sendiri terlepas dari iman Anda sendiri. Seorang anak remaja cenderung untuk mulai mempertanyakan banyak hal yang dahulu sudah diterimanya. Jangan panik. Berdoa dan sediakanlah buku-buku yang dapat memberikan jawaban yang mantap bagi pertanyaan-pertanyaannya, dan perhadapkan dia dengan orang-orang rohani yang terampil berkomunikasi dengan anak-anak remaja. Anda sendiri harus terbuka untuk dengan tenang membahas semua ini dengan anak Anda; di atas segalanya dan lebih daripada sebelumnya, praktekkanlah apa yang Anda ajarkan.

Dalam Amsal 22:6, Allah berjanji Anda dapat memberikan kepada anak Anda hati yang berpaut kepada Dia. Hal ini merupakan proses pertumbuhan bersama yang berjalan terus setiap hari yang akan memberikan kegembiraan yang segera dan keuntungan yang kekal. *

Sumber: j-hop.org/BIC Hongkong

Read more...

Orangtua yang Bertanggung Jawab

Topik kali ini adalah bagaimana sikap orangtua di dalam mendidik anak. Pada zaman sekarang, Efesus 6:4 (“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu”) ini seringkali dipakai oleh banyak anak sebagai alasan untuk mempersalahkan orangtuanya, seolah-olah orangtua tidak boleh membuat mereka marah. Tetapi mereka melupakan ketiga ayat di atasnya di mana anak-anak dituntut un­tuk taat dan hormat kepada orangtua di dalam Tuhan. Kedua hal ini merupakan ke­seim­bang­an yang penting. Di satu pihak, orangtua mempunyai batasan dalam mendidik anak­­nya, yaitu tidak boleh mendidik sampai membuat anaknya marah, sakit hati dan ta­war hati. Mendidik bukan sembarang mendidik, tetapi mendidik di dalam nasihat dan ajar­an Tuhan. Tapi di lain pihak, seorang anak dituntut untuk taat dan hormat kepada orangtua di dalam Tuhan. Inilah keseimbangan pertama.

Keseimbangan kedua, ayat ini juga seringkali disalahartikan. Di satu pihak, go­longan tertentu memakai ayat ini sebagai patokan, seolah-olah pendidikan tidak perlu menggunakan hukuman fisik. Para orangtua pun tidak boleh memarahi anaknya. Tapi di lain pihak, sebagian orang menggunakan Amsal 13 (“Siapa tidak menggunakan tong­kat, benci kepada anaknya”) sebagai alasan bagi orangtua untuk diperbolehkan me­mukuli dan menganiaya anaknya dengan begitu kejamnya. Dalam hal pendidikan anak, orangtua harus mendidik anak dengan keras. Jikalau memang diperlukan, mereka bo­leh menggunakan tongkat dan rotan namun tanpa membangkitkan amarah anaknya. Dua hal ini bukannya diper­ten­tangkan namun harus dikomplementasikan.

Cara orangtua mendidik anak sangat menentukan perkembangan anak. Jika me­reka gagal mendidik anak dengan tepat, maka anak ini nantinya akan ber­po­­tensi men­jadi anak yang sulit untuk dipegang, dan lebih buruk lagi, dia akan menjadi calon pen­jahat dan perusak masyarakat. Karena itu, pendidikan anak merupakan satu hal yang perlu dipikirkan secara serius dan tidak boleh diabaikan. Kalau anak-anak di­didik dengan baik dan benar, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang bermoral, yang mempunyai cara hidup yang sangat integratif. Alkitab dengan ketat me­ngajarkan konsep ini, ”Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di da­lam hati anak-anakmu.” Kolose mengatakan, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anak­­mu, supaya jangan tawar hatinya.”

Dalam aspek pendidikan anak, Alkitab memberikan penekanan lebih serius ke­pada bapa-bapa. Ada 3 alasan yang mendasari penekanan ini:
Pertama, Alkitab mem­berikan penekanan yang berbeda dengan apa yang du­nia sedang mengerti. Dunia sudah mengerti secara teoritik, fakta dan realita bahwa ibu banyak berperan dalam perkembangan anaknya karena dia mempunyai lebih banyak waktu untuk mendidik anaknya. Dengan kata lain, pendidikan anak merupakan tugas ibu dan bukan tugas bapak. Justru menjadi aneh jika ibu tidak mendidik dan mem­besarkan anaknya dengan baik. Asumsi seperti ini terlalu ekstrim dan perlu di­be­res­kan. Alkitab justru mengatakan bahwa pendidikan anak adalah tugas ayah, “Dan ka­mu, bapa-bapa, janganlah bangkit­kan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didik­lah mereka di dalam ajaran dan na­sihat Tuhan.” Seorang ayah tidak bisa meninggalkan tang­gung jawab pendidikan anak dan menyerahkan seluruh aspek pendidikan kepada ibu karena dia sendiri berperanan se­­bagai wakil Allah dalam keluarga. Alkitab secara kon­sisten dari Perjanjian Lama sam­pai Perjanjian Baru tidak pernah mengabaikan pe­ran­an ayah dalam mendidik anak. Se­men­tara saat ini, kebanyakan para ayah ti­dak mau bertanggung jawab dalam pen­di­dik­an anaknya. Inilah satu sikap yang de­ngan sengaja melawan kebenaran firman Tuhan.

Kedua, anak belajar mengenal Allah melalui figur ayah. Kalau seorang anak mempunyai konsep yang salah tentang ayahnya, maka konsepnya tentang Allah pun salah. Jadi, kalau dia tahu papanya kejam sekali, maka dia akan punya gambaran ten­tang Allah yang kejam. Di saat seperti itu sebetulnya dia gagal mengerti Allah yang se­sung­guhnya. Kecuali jika anak ini bertobat, mengenal Tuhan dan dididik dengan Firman, perlahan-lahan konsepnya akan berubah. Namun proses mengubah konsep yang salah itu sangat sulit karena sudah berakar di kepala. Biarpun secara teori dia bisa me­ngemukakan teori Kristen yang baik tentang Allah yang tepat, tapi di dalam hatinya yang paling dalam dan pikirannya tetap dia mempunyai konsep Allah seperti ayahnya. Maka Alkitab mengajar para ayah untuk mendidik anak dengan baik. Di sinilah ke­in­dahan­nya jika seorang anak boleh dilahirkan di keluarga Kristen di mana orangtua men­di­dik­­nya di dalam iman Kristen. Inilah warisan dan anugerah yang terlalu besar yang ti­dak mungkin dimiliki jika anak itu dilahirkan di dalam keluarga non-Kristen. Namun da­lam ke­nyataannya ada pula anak yang dilahirkan dalam keluarga Kristen tetapi orang­tuanya ti­dak menjalankan tugas untuk memberikan anugerah tersebut kepada anaknya. Seorang anak adalah titip­an Tuhan, tapi tetap menjadi tang­gung jawab orangtua untuk mendidik.

Ketiga,
yang seringkali membuat anak marah dan sakit hati adalah ayah. Ten­tu saja tidak semua ayah berbuat demikian. Tetapi di dalam fakta statistik, yang pa­ling sering menganiaya anak adalah ayah. Karena itulah Alkitab mengatakan, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu.” Itulah ketiga alasan mengapa Alkitab mem­beri penekanan lebih serius pada peranan ayah dalam pendidikan anak.

Alkitab me­ngatakan dalam Amsal 13: “Siapa tidak menggunakan tong­kat, ben­ci kepada anaknya; te­tapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada wak­tu­nya.” Ada beberapa hal yang harus orangtua pikir­kan dalam hal ini:
Pertama, motivasi orang­tua ketika memukul atau menghajar anak. Kunci per­tama yang terpenting di dalam mendidik anak adalah ba­gaimana saya mulai dengan mo­tivasi mengasihi anak. Yang seringkali menjadi kesa­lahan orangtua adalah justru pa­da saat mencintai anak, mereka tidak dapat meng­gu­na­kan tongkat, dan pada saat mem­­benci anak, tongkatlah yang menjadi alat pelampias­an. Dan satu hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah jika sang anak masih dalam usia ingin mengaktifkan mo­to­riknya. Seringkali orangtua ti­dak mendidik anak karena men­cintainya tetapi karena me­­rasa jengkel dan dirugikan oleh anak. Ketika sedang jengkel, orangtua harus me­ne­duh­kan diri dan memikirkan baik-baik apakah ia layak untuk memukul dan sejauh mana ke­salahan anak itu. Dan baru­lah ia memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap anak. Sebab jikalau kita se­dang marah karena jengkel, kita dapat memukul anak tanpa ba­tas dan keadilan. Ini me­rupakan kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan yang di­lam­piaskan kepada orang yang tidak berdaya. Menurut konsep yang tepat, cintalah yang mengharuskan orangtua me­mukul anaknya demi kebaikannya. Seorang pendeta me­ngatakan, “Pukullah anakmu de­ngan air mata.” Ketika memukul anak, biarlah orang­tua memukul dengan menangis karena sebenarnya mereka tidak suka memukulnya. Ketika anak tahu, papanya pukul dia dengan keras te­tapi bukan karena benci melainkan karena mencintainya, anak itu akan tahu bahwa ia di­hukum keras dan mulai belajar keadilan namun ia tidak menjadi marah dan benci.

Kedua, prinsip atau orientasi yang harus dipertimbangkan ketika memukul anak. Pertimbangan pertama adalah bukan pada diri orangtua tetapi pada diri anak yaitu pikirannya, pergumulannya dan pertimbangannya. Dan pertimbangan kedua ada­lah besar-kecil kesalahannya dan hukuman yang pantas. Ketika menghukum, orientasi orangtua haruslah pada anak karena tujuan pendidikan adalah demi anak kembali pada jalur Tuhan dan mengerti nasihat dan ajaran Tuhan.

Ketiga, cara orangtua mendidik anak. Ketika menghukum anak, orangtua ha­rus tahu bagaimana caranya membuat dia mengerti kesalahannya dan bagaimana meng­hukum dia atas kesalahan itu dengan dasar keadilan dan cintakasih. Seorang anak harus dihukum karena kesalahannya, agar tidak mengulangi kesalahan yang sa­ma atau membuat kesalahan yang lebih besar lagi. Ketika melakukan tindakan peng­hukuman, orangtua harus memperhatikan tempat penghukuman. Jangan sampai kita me­mukul anak di bagian kepala karena dapat mengakibatkan radang otak. Demikian juga dengan punggung tangan anak yang dapat putus atau terkilir. Maka bagian terbaik un­tuk memukul adalah di telapak tangan dan di pantat.

Keempat,
hasil didikannya. Efesus 6 mengatakan bahwa didikan orangtua yang benar akan menghasilkan anak-anak yang terdidik di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Mereka akan mengerti tentang firman dan ajaran Tuhan. Karena itu, setelah penghukuman, orangtua harus memperhatikan adakah pertobatan dan perubahan dalam diri anaknya. Pendeta Stephen Tong mengajarkan dalam Arsitek Jiwa, bahwa se­telah menghajar anak, bukannya anak menjadi benci kepada orangtua, tetapi dia men­jadi sungkan namun terus mencari mereka. Inilah paradoksikal pendidikan yang sukses. Untuk mencapainya, orangtua harus mampu menjalankan kasih dan keadilan secara seimbang sesuai dengan figur Allah yang tepat. Tuhan mengasihi tapi juga sekaligus meng­­hukum. Maka saat itu cinta dan keadilan tidak didualismekan tetapi justru digabungkan.

Di tengah dunia ini, sangat sulit bagi orangtua untuk selalu menjaga anaknya karena terlalu banyak pengaruh luar yang mencoba mempengaruhinya. Oleh karena itu, orangtua harus memberikan bekal kebenaran yang secukupnya sehingga dia mem­punyai kekuatan untuk bertahan di dalam segala macam situasi. Amin.

By Pdt. Sutjipto Subeno | Sumber: GRII Andhika

Read more...

recent comments


Cari di ezramos.blogspot.com...

recommended links

     » Christian Men's Network Indonesia
     » Wanita Bijak
     » Christian Parent
     » All About Parenting
     » Focus On The Family
     » Children’s Ministry Online
     » Jesus for Children
     » Salvation Kids
     » Kid Explorers
     » CBH (Children's Bible Hours)
» Blog ini didedikasikan untuk kedua anak yang kami kasihi, Ezra dan Amos serta kepada seluruh orangtua Kristen yang memiliki anak-anak agar mereka tetap memegang teguh komitmen dan tanggung jawab atas kehidupan anak-anak yang telah Tuhan percayakan kepada mereka. God bless you!

"Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita." (Ams. 23:15)

meet the parents

Add me Add me

  © 2008 Blogger template by Ourblogtemplates.com

Back to TOP